Meretas Jejak Propolis / Sejarah Propolis
Suatu ketika, seorang pebudidaya madu menemukan sebuah sarang lebah yang tak lazim. Dilihat dari ukurannya, sarang lebah ini terlalu berat. Ia pun kemudian menduga volume madu dalam sarang itu mungkin saja sangat banyak. Namun ternyata diagnosis awalnya itu salah.
Ketika sarang itu dibedah, bukan madu dalam jumlah besar yang ditemukannya, melainkan seonggok bangkai tikus. Sang pebudidaya itu tak habis pikir. Bagaimana mungkin seekor tikus dapat masuk ke sarang yang memiliki pintu masuk yang kecil? Tak hanya itu, ia juga tak mampu menemukan jawaban logis mengapa tikus yang telah lama mati itu tak membusuk di dalam sarang?
Untuk menjawab rasa penasarannya, pebudidaya itu membawa temuannya ke sebuah laboratorium. Di sana, jenasah tikus itu dianalisis. Hasilnya ditemukan jawaban mengapa binatang pengerat itu mati, namun tidak membusuk.
Suatu ketika, seorang pebudidaya madu menemukan sebuah sarang lebah yang tak lazim. Dilihat dari ukurannya, sarang lebah ini terlalu berat. Ia pun kemudian menduga volume madu dalam sarang itu mungkin saja sangat banyak. Namun ternyata diagnosis awalnya itu salah.
Ketika sarang itu dibedah, bukan madu dalam jumlah besar yang ditemukannya, melainkan seonggok bangkai tikus. Sang pebudidaya itu tak habis pikir. Bagaimana mungkin seekor tikus dapat masuk ke sarang yang memiliki pintu masuk yang kecil? Tak hanya itu, ia juga tak mampu menemukan jawaban logis mengapa tikus yang telah lama mati itu tak membusuk di dalam sarang?
Untuk menjawab rasa penasarannya, pebudidaya itu membawa temuannya ke sebuah laboratorium. Di sana, jenasah tikus itu dianalisis. Hasilnya ditemukan jawaban mengapa binatang pengerat itu mati, namun tidak membusuk.
Bangkai kepala tikus yang tak membusuk karena di
balus Propolis (Simone-Fin_rstrom dan Maria Spivak, 2010)
Ternyata setelah tikus itu masuk ke sarang lebah, para lebah berusaha melumpuhkannya dengan cairan propolis sampai akhirnya binatang malang itu mati. Jenasah tikus itu kemudian dilumuri oleh propolis agar tak membusuk, menjadi sarang bakteri, dan menyebarkan virus di dalam sarang lebah. Setelah sekian lama sampai akhirnya ditemukan si pebubidaya, cairan propolis itu ternyata tetap membaluri bangkai binatang pengerat itu.
Beberapa penelitian (Hoyt, 1965 ; Johnson dkk., 1994, dan Garedew dkk. 2004) mendukung hasil analisis laboratorium di atas. Tak hanya tikus, berbagai parasit, binatang kecil, dan benda asing lainnya yang berhasil masuk ke sarang lebah juga bernasib sama.
Campuran Ramuan Pengawet Mayat
Sebenarnya kemampuan propolis untuk mengawetkan mahluk hidup yang telah mati bukan pengetahuan baru bagi manusia. Setidaknya lebih dari 3.000 tahun yang lalu manusia-manusia yang hidup pada zaman Mesir kuno telah menggunakan propolis dalam proses pembalseman atau pengawetan mayat (mumifikasi).
Bangsa Mesir kuno percaya terdapat kehidupan setelah mati. Oleh karena itu mereka berasumsi tubuh orang-orang yang telah meninggal harus tetap utuh agar dapat mengarungi kehidupan di alam gaib. Walhasil, bangsa yang pertama memanfaatkan lebah ini pun mengawetkan mayat orang-orang yang telah berpulang?terutama bagi para raja (firaun) dan keluarganya.
Proses pembalseman itu sendiri menggunakan ramuan yang terdiri beragam unsur. Sarang lebah termasuk salah unsur yang digunakan. Selain madu dan lilin, propolis juga dipakai sebagai bahan campuran ramuan itu.
Ternyata setelah tikus itu masuk ke sarang lebah, para lebah berusaha melumpuhkannya dengan cairan propolis sampai akhirnya binatang malang itu mati. Jenasah tikus itu kemudian dilumuri oleh propolis agar tak membusuk, menjadi sarang bakteri, dan menyebarkan virus di dalam sarang lebah. Setelah sekian lama sampai akhirnya ditemukan si pebubidaya, cairan propolis itu ternyata tetap membaluri bangkai binatang pengerat itu.
Beberapa penelitian (Hoyt, 1965 ; Johnson dkk., 1994, dan Garedew dkk. 2004) mendukung hasil analisis laboratorium di atas. Tak hanya tikus, berbagai parasit, binatang kecil, dan benda asing lainnya yang berhasil masuk ke sarang lebah juga bernasib sama.
Campuran Ramuan Pengawet Mayat
Sebenarnya kemampuan propolis untuk mengawetkan mahluk hidup yang telah mati bukan pengetahuan baru bagi manusia. Setidaknya lebih dari 3.000 tahun yang lalu manusia-manusia yang hidup pada zaman Mesir kuno telah menggunakan propolis dalam proses pembalseman atau pengawetan mayat (mumifikasi).
Bangsa Mesir kuno percaya terdapat kehidupan setelah mati. Oleh karena itu mereka berasumsi tubuh orang-orang yang telah meninggal harus tetap utuh agar dapat mengarungi kehidupan di alam gaib. Walhasil, bangsa yang pertama memanfaatkan lebah ini pun mengawetkan mayat orang-orang yang telah berpulang?terutama bagi para raja (firaun) dan keluarganya.
Proses pembalseman itu sendiri menggunakan ramuan yang terdiri beragam unsur. Sarang lebah termasuk salah unsur yang digunakan. Selain madu dan lilin, propolis juga dipakai sebagai bahan campuran ramuan itu.
Proses Mumifikasi (http://bumptiousq.hubpages.com)
Fungsi propolis dalam proses mumifikasi itu untuk melindungi tubuh orang yang meninggal dari mikroba, parasit, dan bakteri. Itulah sebabnya tubuh orang yang telah dibaluri ramuan khusus yang mengadung propolis itu tak hancur walaupun telah berumur ribuan tahun.
Cairan Lebah Serbaguna
Di luar itu, masyarakat tempo dulu juga telah mengeksplorasi manfaat propolis untuk berbagai keperluan. Selain sebagai bahan campuran ramuan dalam proses mumifikasi, bangsa Mesir kuno juga menggunakan propolis sebagai lem. Sementara itu, masyarakat Yunani kuno mencampur propolis dengan olibanum styrax dan ramuan aromatik tertentu untuk menghasilkan parfum istimewa bernama polyanthus.
Walaupun memiliki beragam manfaat, istilah propolis hampir selalu identik dengan ranah kesehatan. Keterakitan erat ini bukan tanpa alasan. Jauh sebelum umat manusia menggunakan propolis, para lebah telah memanfaatkan cairan ini untuk melindungi sarangnya ? mencegah, bahkan membunuh virus, bakteri, dan benda-benda asing lainnya.
Manusia yang lebih belakangan memanfaatkan cairan yang dihasilkan oleh lebah ini kemudian menamakannya propolis. Istilah ini berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu pro (di depan) dan polis (kota). Gabungan kedua kata ini dapat diartikan sebagai pertahanan kota?sarang lebah.
Dalam legenda Romawi kuno juga disinggung ihwal propolis. Dalam sebuah mitologi dikisahkan mahadewa Jupiter mengubah dewi Melissa menjadi lebah agar dapat memproduksi zat ajaib yang mampu menyebuhkan penyakit. Zat inilah yang kemudian disebut propolis. Dalam bahasa Romawi kuno sendiri , propolis berasal dari kata propolire yang berarti mantel.
Propolis dan Kesehatan
Masyarakat yang hidup dalam berbagai peradaban kuno tercatat telah menggunakan propolis untuk mengatasi berbagai problem kesehatan. Orang-orang Mesir, Yunani, dan Romawi kuno telah mengunakan cairan ini untuk memulihkan kesehatan dan menyembuhkan luka pada kulit.
Di luar itu, masyarakat Yunani kuno menggunakan propolis yang memiliki sifat anti-mikroba. Orang-orang Romawi kuno menggunakan propolis untuk menyembuhkan infeksi berbagai penyakit penyakit, sementara masyarakat Cina kuno memanfaatkannya sebagai obat sakit gigi dan membunuh bakteri penyakit.
Namun dari sekian banyak peradaban kuno yang memanfaatkan propolis, harus diakui masyarakat Yunani dan Romawi kuno yang berhasil mengeksplorasi manfaat cairan ini untuk kepentingan kesehatan. Pasalnya, Tak kurang dari penulis kedua peradaban ini memaparkan proses pembuatan dan pengaplikasian propolis yang kerap dideskripsikan sebagai produk alami lebah ketiga, di samping madu dan lilin lebah.
Bapak obat moderen, Hippocrates (460-377 SM) telah mendeteksi berbagai unsur penyembuh dalam cairan propolis. Ia menyebut cairan ini mampu menyembuhkan luka dan borok, baik dari luar maupun dalam tubuh.
Filsuf Aristotles (384 – 322 SM) juga menyinggung khasiat propolis dalam bukunya yang terkenal berjudul Historia Animalium (Sejarah Hewan). Dalam buku itu, Aristotles menyebut propolis sebagai “ obat untuk infeksi kulit dan luka borok.
Memasuki abad pertama masehi, Discorides, memperikarakan propolis bersumber dari styrax : air liur lebah berawrna kuning beraroma manis. Sifat cairan ini lembut dan mudah menyebar setelah dikumpulkan dari berbagai damar yang wangi. Styrax bersuhu hangat, atraktif, dan baik untuk menarik duri atau serpihan lain yang menancap pada kulit. Dan bila diubah menjadi asap/uap dapat mengobati batuk dan menyembuhkan penyakit kulit.
Gaius Plinius Secundus (Pliny) (http://thaumazein-albert.blogspot.com)
Sementara itu, ilmuan Romawi kuno, Pliny (23-79 M) berhasil mempelajari dan memahami lebih detail ihwal sarang lebah. Ia juga berhasil mempelajari dan mengeksplorasi manfaat dari propolis. Menurut sang ilmuan, propolis berasal dari berbagai pucuk pohon, seperti beringin, poplar, elm, dan gelagah.
Lebih lanjut, Pliny memaparkan ekstrak cairan itu dapat menyembuhkan kulit yang tertancam benda asing, bengkak, pengerasan kulit, meredakan nyeri otot, dan menyembuhkan luka luar. Di luar itu, ilmuan asal Romawi itu membagi propolis menjadi tiga kategori sesuai fungsinya. Selain propolis itu sendiri, Pliny menyebut istilah commosis yang berguna sebagai desinfektan dan Pissoceros yang berguna untuk memperkuat pertahanan tubuh. (Bersambung...) (TvA)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar